Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pertanyaan menggelitik dari seorang mahasiswa saat diskusi perkuliahan Pengembangan Kurikulum berlangsung, pertanyaan itu adalah; akhir-akhir ini berita di media massa dihebohkan dengan berita korupsi, mulai dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) beberapa pejabat eksekutif dari daerah hingga pusat, anggota legislatif dari daerah hingga pusat, pengusaha dan yang lagi viral adalah kasus mega korupsi e-KTP yang menjerat ketua DPR RI sebagai tersangka, padahal perbuatan kriminal tersebut dilakukan oleh orang-orang berpendidikan tinggi, ada apa dengan kurikulum kita? Dimana letak kesalahan Pendidikan kita? Dan bagaimana memperbaikinya?
Sekilas terdengar sebagai sebuah pertanyaan sederhana, namun memerlukan analisis mendalam dari berbagai sudut pandang ilmu Pendidikan, bagaimana tidak? Penyakit korupsi yang terjadi belakangan ini yang semakin mewabah, tentunya merupakan kausalitas dari proses pendidikan yang panjang di Indonesia. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa umumnya pelaku tindak pidana tersebut adalah orang berpendidikan, bahkan berpendidikan tinggi.
Korupsi dipandang sebagai penyakit masyarakat, perilaku tidak terpuji ini jelas dan nyata merugikan keuangan negara dan bahkan hakikatnya merugikan rakyat secara keseluruhan, berbagai hak yang mestinya diterima dan dimanfaatkan oleh rakyat untuk kemakmuran dan kesejahteraan orang banyak, akhirnya dinikmati oleh pejabat negara yang korup.
Indonesia menyadari, semakin hari, semakin banyak kasus korupsi yang terbukti, sehingga menuntut adanya kebijakan strategis untuk segera mengentaskan perilaku merugikan tersebut dengan mendirikan sebuah lembaga yang akan mengikis habis tindak pidana korupsi ini sampai ke akar-akarnya, maka pada tanggal 29 Desember 2002, pemerintah RI kemudian mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sampai saat ini KPK sudah menunjukan prestasi yang mengagumkan, di tengah dahaga akan pemberantasan korupsi bangsa ini. KPK telah menjerat beberapa gubernur, pejabat pemerintah, politisi, pimpinan partai politik, anggota legislatif sampai kepada pimpinan organisasi kemasyarakatan sebagai tersangka kasus korupsi.
Terlepas dari kisah sukses KPK sebagai punggawa pemberantasan korupsi di Indonesia. Sejak Era Reformasi banyak pihak menyebutkan, bahwapangkal persoalan maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia,berawal pada ketidakberdayaan kurikulum menghasilkan lulusan yang berperilaku anti korupsi.
Kurikulum yang berlaku di Indonesia dianggap tidak mampu membekali orang dengan perilaku dan kepribadian terpuji, yang bakal membentengi dari godaan korupsi. Pembelajaran lebih cendrung mengacu pada aspek teori, Afeksi lebih banyak dihafal, dicatat dan bahkan diujikan dalam konteks pengetahuan, tanpa membarengi dengan aplikasi dalam kehidupan.
Pembelajaran afektif seperti; jujur, empati, kepribadian, loyalitas, attitudedan tanggung jawab diajarkan dalam bentuk kognitif dan hafalan, begitu pula dalam evaluasinya, nilai-nilai tersebut diujikan dalam bentuk pertanyaan yang membutuhkan jawaban tertulis, sehingga nilai-nilai tersebut kering dari makna yang seharusnya menjadi kepribadian yang melekat erat bagi lulusan pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut, sejak Era Reformasi digulirkan sampai sekarang, sudah 3 jenis kurikulum berlaku di Indonesia, mulai dari KBK tahun 2004, Kurikulum KTSP tahun 2006 hingga Kurikulum 2013 yang berlangsung hingga saat ini. Ketiga kurikulum itu, masih terlihat adanya praktek penerapan sisi sikap yang sama dari waktu ke waktu, meskipun bila dilihat dari Kompetensi Inti dan Kompetensi Lulusan, Kurikulum 2013 telah berorientasi pada aspek afektif, namun praktek pengajarannya masih cenrung relatif sama.
Sebagai contoh kesamaan penerapan kurikulum Indonesia tersebut adalah; saat pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Kewarganegaan (KWN) (sebagai dua mata pelajaran yang bermuatan KI1 dan KI2 yang strategis) berlangsung, penjelasan tentang sifat terpuji seperti jujur, masih berlangsung secara normatif-kognitif, cendrung dihafal dan diujikan menggunakan paper and pencil test, sehingga mengakibatkan sejumlah“warung jujur” yang sempat popular dan digadang-gadang sebagai implikasi pendidikan anti korupsi di sekolah,kemudian bangkrut, karena sikap jujur itu masih jauh dari harapan.
Langkah terbaik menyelesaikan sengkarut kasus korupsi di Indonesia adalah dengan mengembalikan ke akar permasalahannya, yaitu kurikulum itu sendiri. Memperbaiki mutu pendidikan haruslah berawal dari memperbaiki kurikulum, seperti yang dialami Amerika saat bereaksi terhadap keberhasilan Soviet Union mengorbitkan Sputnik pada tahun 50-an, sehingga membuat Amerika “kebakaran jenggot” dan mengumpulkan berbagai ahli interdisipliner untuk merubah kurikulum dan sistem pendidikan Amerika. Al-hasil lebih kurang enam tahun kemudian Amerika berhasil mengorbitkan Apollo ke Bulan.
Berkaca dari pengalaman Amerika saat perang dingin tersebut, agaknya patut diambil pelajaran bahwa untuk merubah kualitas pendidikan, harus berawal dari melakukan pengkajian dan pengembangan kurikulum, meskipun para pelaku korupsi hari ini bukanlah diakibatkan oleh kurikulum yang berlaku saat ini, namun secara umum kurikulum yang berlaku saat ini masih terlihat sama, dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya.
Faktor berikutnya yang mesti juga diperbaiki adalah kualitas guru, kualitas guru yang dimaksud disini adalah kemampuan guru dalam menerapkan kurikulum, sebaik apapun kurikulum, bila berada di tangan guru yang tidak kreatif dan professional, maka kurikulum yang baik tersebut tidak akan berarti apa-apa.
Guru harus mampu berinovasi melaksanakan kurikulum anti korupsi, memahami dengan baik mana aspek pengetahuan yang mesti diajarkan secara kognitif danaspek afektif yang harus dibiasakan dan diamati penerapannya dalam perilaku sehari-hari, guru mesti menguasai berbagai strategi pembelajaran budi pekerti dan perilaku, sehingga pembelajaran itu tidak cendrung normatif dan dapat dengan cepat termanifestasikan menjadi kepribadian yang paripurna bagi siswa.
Di samping itu, guru juga harus memiliki wawasan anti korupsi, berkenaan dengan pengertian, macam, dan hukuman yang dikenakan kepada para koruptor, sehingga guru dapat menyelipkan pembahasan korupsi ke dalam proses pembelajarannya masing-masing sebagai hidden curriculum.tidak perlu menambah jam pelajaran khusus, namun bila semua mata pelajaran memiliki visi dan tanggung jawab yang sama dalam sikap anti korupsi, pastilah mata rantai penyakit korupsi dapat diputus.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran aktif, keprofesionalanseorang guru dan kurikulum yang bermutu,sangat dibutuhkan dalam memberikan kesadaran pendidikan anti korupsi kepada siswa-siswanya, sehingga cita-cita INDONESIA BEBAS KORUPSI akan segera terwujud, semoga !.