Masyitah adalah tukang sisir anak Fir’aun. Ia begitu konsisten dalam memegang kebenaran. Sama dengan kisah seorang anak pengembala yang pernah dibujuk oleh Umar bin Khattab untuk menjual kambingnya. Kata Umar, “Tidak akan ada orang yang melihat!” Namun pengembala itu bilang, “Fa aina Allah ?” Maka dimanakah Allah ? Umar terhenyak. Anak itu lantas dibawanya, dan dibina olehnya. Umar takjub karena anak kecil ini memiliki konsistensi dalam memegang kebenaran.
Masyitah, barangkali ia memwakili kelompok kelas bawah, pekerjaannya cuma tukang sisir. Tapi, konsistensi dalam memegang kebenaran Islam dan Tauhid begitu luar biasa. Mungkin sulit orang saat ini yang seperti Masyitah. Sebab ia rela mati demi satu kata “Allah”. Karena itulah, kuburan Masyitah menjadi harum mewangi, semerbak seperti kasturi. Rasulullah SAW sendiri pernah mencium bau wangi itu pada kesempatan Isra’ dan Mi’raj. Nah, agar kita lebih termotivasi, berikut kisah kuburan harum Masyitah.
Ketika Rasulullah melakukan perjalanan Isra’ dan Mi’raj. Saat itu, beliau mencium bau harum. Nabi lantas bertanya kepada Malaikat Jibril, “Bau apakah ini ?” Jibril menjawab, “Ini adalah bau wangi dari makaam Masyithah dan anak-anaknya.. “Masyithah adalah tukang sisir Fir’aun, raja yang berkuasa, namun sombong dan arogan.
Pada suatu hari Masyithah sedang menyisir rambut putri Fir’aun. Tanpa disengaja sisir yang dipakainya terjatuh dan ia mengucapkan “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rahi’uun”. Ucapan itu terdengar oleh putri Fir’aun seraya berkata, “Jangan kau sebit nama itu. Sebutlah nama Ayahnku!” Dengan tegas Masyithah menjawab, Tidak, saya akan tetap menyebut nama Allah.” “Siapakah Allah itu ? adakah Tuhan selain Ayahku ?” tanya Fir’aun. Masyitah menjawab, “ada, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang harus kita sembah. Itu adalah Tuhanmu juga Tuhanku serta Tuhan Ayahmu. “Putri Fir’aun merasa tersinggung dan mengancam, “Awas, akan aku adukan kepada ayahku!” “Terserah, saya tidak takut! Jawab Masyitahdengan tegas dan tenang.
Putri Fir’aun rupanya benar-benar mengadukan kejadian itu kepada ayahnya. Tidak lama kemudian, Fir’aun memanggil Masyitah dan bertanya, “Siapakah Tuhanmu ?” “Tuhanku adalah Allah, “Jawab Masyitah. Fir’aun marah dan mengancam, “Kalau kamu tidak mau mencabut kata-kata itu, kamu saya lemparkan ke dalam air panas, “Masyitah tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau mengingkari Allah. Kemudian ia menjawab, “Saya tidak takut. Saya hanya takut kepada Allah. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan semua manusia yang menciptakan alam. Tidak ada Tuhan selain Allah.”
Fir’aun semakin marah. Ia menyuruh pengawalnya untuk membuat tanur, yaitu belangga besar dibuat dari logam kuningan. Belangga itu diisi air dan dipanaskan sampai mendidih. Fir’aun memerintahkan pengawalnya agar Masyitah berseta anak-anaknya dielmparkan ke dalam air yang mendidih itu. Sebelum dilemparkan, Masyitah minta agar tulangnya dan tulang anaknya dikumpulkan dan dikuburkan. Permintaannya kemudian diterima Fir’aun.
Maka, satu persatu anak Masyitah dilemparkan dalam belangga yang berisi air panas mendidih itu. Kini, tinggal anaknya yang terakhir yang masih menyusui. Masyitah kelihatan ragu-ragu, karena kasihan melihat anaknya yang masih kecil itu. Tetapi, tiba-tiba bayi itu berkata kepada ibunya, “Sabarlah wahai ibuku, tabahkan hatimu. Sesungguhnya kita berada di pihak yang benar. “Masyitah akhirnya tak ragu-ragu lagi. Bahkan ia sangat gembira karena akan memperoleh kebahagian di akhirat. Ia pun mengucapkan, “Bismillah tawakkaltu ‘Alallaah, Allahu Akbar!” Kemudian ia terjun ke air yang sedang mendidih bersama anaknya yang masih kecil.
Begitulah, akhirnya Masyitah benar-benar menemukan kebahagiaan sejati bersama Tuhannya. Kuburannya menjadi harum mewangi, semerbak, karena ia memiliki keteguhan, konsistensi istiqamah dalam memegang kebenaran meskipun resiko yang dihadapinya sangatlah berat, yaitu kematian. Lalu bagaimana dengan kita ? kita ini sering “melepas” konsistensi bukan karena resiko yang ditawarkan. Tetapi sering melepaskan konsistensi karena kenikmatan duniawi.
Ada tahta, harta dan wanita bisa menyebabkan kita hilan gdarikonsistensi dalam memegang teguh keimanan dalam hati, sehingga iman mudah goyah dan tergoda oleh bujukan setan. Untuk itulah dari kisah Masyitah di atas, semoga menjadi pelajaran yang berharga bagi kita selaku hamba Allah yang lemah ini.
Masyitah, barangkali ia memwakili kelompok kelas bawah, pekerjaannya cuma tukang sisir. Tapi, konsistensi dalam memegang kebenaran Islam dan Tauhid begitu luar biasa. Mungkin sulit orang saat ini yang seperti Masyitah. Sebab ia rela mati demi satu kata “Allah”. Karena itulah, kuburan Masyitah menjadi harum mewangi, semerbak seperti kasturi. Rasulullah SAW sendiri pernah mencium bau wangi itu pada kesempatan Isra’ dan Mi’raj. Nah, agar kita lebih termotivasi, berikut kisah kuburan harum Masyitah.
Ketika Rasulullah melakukan perjalanan Isra’ dan Mi’raj. Saat itu, beliau mencium bau harum. Nabi lantas bertanya kepada Malaikat Jibril, “Bau apakah ini ?” Jibril menjawab, “Ini adalah bau wangi dari makaam Masyithah dan anak-anaknya.. “Masyithah adalah tukang sisir Fir’aun, raja yang berkuasa, namun sombong dan arogan.
Pada suatu hari Masyithah sedang menyisir rambut putri Fir’aun. Tanpa disengaja sisir yang dipakainya terjatuh dan ia mengucapkan “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rahi’uun”. Ucapan itu terdengar oleh putri Fir’aun seraya berkata, “Jangan kau sebit nama itu. Sebutlah nama Ayahnku!” Dengan tegas Masyithah menjawab, Tidak, saya akan tetap menyebut nama Allah.” “Siapakah Allah itu ? adakah Tuhan selain Ayahku ?” tanya Fir’aun. Masyitah menjawab, “ada, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang harus kita sembah. Itu adalah Tuhanmu juga Tuhanku serta Tuhan Ayahmu. “Putri Fir’aun merasa tersinggung dan mengancam, “Awas, akan aku adukan kepada ayahku!” “Terserah, saya tidak takut! Jawab Masyitahdengan tegas dan tenang.
Putri Fir’aun rupanya benar-benar mengadukan kejadian itu kepada ayahnya. Tidak lama kemudian, Fir’aun memanggil Masyitah dan bertanya, “Siapakah Tuhanmu ?” “Tuhanku adalah Allah, “Jawab Masyitah. Fir’aun marah dan mengancam, “Kalau kamu tidak mau mencabut kata-kata itu, kamu saya lemparkan ke dalam air panas, “Masyitah tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau mengingkari Allah. Kemudian ia menjawab, “Saya tidak takut. Saya hanya takut kepada Allah. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan semua manusia yang menciptakan alam. Tidak ada Tuhan selain Allah.”
Fir’aun semakin marah. Ia menyuruh pengawalnya untuk membuat tanur, yaitu belangga besar dibuat dari logam kuningan. Belangga itu diisi air dan dipanaskan sampai mendidih. Fir’aun memerintahkan pengawalnya agar Masyitah berseta anak-anaknya dielmparkan ke dalam air yang mendidih itu. Sebelum dilemparkan, Masyitah minta agar tulangnya dan tulang anaknya dikumpulkan dan dikuburkan. Permintaannya kemudian diterima Fir’aun.
Maka, satu persatu anak Masyitah dilemparkan dalam belangga yang berisi air panas mendidih itu. Kini, tinggal anaknya yang terakhir yang masih menyusui. Masyitah kelihatan ragu-ragu, karena kasihan melihat anaknya yang masih kecil itu. Tetapi, tiba-tiba bayi itu berkata kepada ibunya, “Sabarlah wahai ibuku, tabahkan hatimu. Sesungguhnya kita berada di pihak yang benar. “Masyitah akhirnya tak ragu-ragu lagi. Bahkan ia sangat gembira karena akan memperoleh kebahagian di akhirat. Ia pun mengucapkan, “Bismillah tawakkaltu ‘Alallaah, Allahu Akbar!” Kemudian ia terjun ke air yang sedang mendidih bersama anaknya yang masih kecil.
Begitulah, akhirnya Masyitah benar-benar menemukan kebahagiaan sejati bersama Tuhannya. Kuburannya menjadi harum mewangi, semerbak, karena ia memiliki keteguhan, konsistensi istiqamah dalam memegang kebenaran meskipun resiko yang dihadapinya sangatlah berat, yaitu kematian. Lalu bagaimana dengan kita ? kita ini sering “melepas” konsistensi bukan karena resiko yang ditawarkan. Tetapi sering melepaskan konsistensi karena kenikmatan duniawi.
Ada tahta, harta dan wanita bisa menyebabkan kita hilan gdarikonsistensi dalam memegang teguh keimanan dalam hati, sehingga iman mudah goyah dan tergoda oleh bujukan setan. Untuk itulah dari kisah Masyitah di atas, semoga menjadi pelajaran yang berharga bagi kita selaku hamba Allah yang lemah ini.