Wanita dalam keadaan hamil dan menyusui, mendapatkan keringanan atau dalam istilah Islam Rukhsoh (keringanan) untuk melanjutkan berpuasa atau tidak. Bagi yang menyusui yang dimaksud di sini adalah yang telah melewati masa nifas selam 40 hari. Maka bagi mereka boleh memilih apakah melanjutkan puasa atau tidak dengan menggantinya dengan puasa di hari yang lain atau membayar fidyah.
Terkait dengan permasalahan apakah wanita hamil dan menyusui, jika ia tidak mampu berpuasa, apakah ia hanya wajib mengqadha’ puasanya atau wajib bayar fidyah saja, atau harus mengqadha’ disertai dengan membayar fidyah, maka terkait hal ini, ada beberapa pendapat dengan beberapa kondisi yang dialami oleh wanita hamil dan menyusui tersebut.
Mari kita simak firman Allah berikut ini :
…Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengqodho’ puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain…(Al-Baqarah 185)
Dalam keterangan firman Allah SWT di atas, maka bagi siapa saja yang tidak mampu berpuasa, karena sakit, karena dalam perjalanan, karena ada udzur dan sejenisnya, maka wajib baginya mengganti puasa pada hari yang lain.
Namun, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa boleh menggantinya dengan fidyah. Fidyah adalah ganti daripada puasa, bagi orang yang tidak mampu berpuasa dengan memberi makan makan fakir miskin, sebanyak hari yang ia tinggalkan. Pendapat ini adalah pendapat dari Imam Maliki, namun, beliau membedakan antara ibu yang hamil dan menyusui, bagi ibu hamil maka bayar dengan puasa saja, sedangkan bagi ibu yang menyusui maka fidyah saja.
Sedangkan pendapat Imam SYafi’I bahwa seorang ibu hamil atau menyusui, maka wajib baginya mengganti puasa dan membayar fidyah sebanyak yang ia tinggalkan. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal menjelaskasn terkait dengan wanita hamil dan menyusui juga tergantung pada kekhawatirannya sehingga meninggalkan puasa Ramadhan, jika wanita hamil atau menyusui, tatkala ia tidak berpuasa dikarenakan mengkhawatirkan kondisi bayinya, ia wajib mengqadha puasa sekaligus membayar fidyah. Akan tetapi bila ia mengkhawatirkan dirinya saja, atau mengkhawatirkan dirinya dan juga bayinya, maka yang harus ia lakukan adalah membayar qadha’ tanpa fidyah. (Fiqhus Sunnah I, hal. 508).
Itulah beberapa pendapat Imam besar kita, dalam menentukan hokum puasa atau hukum mengganti puasa bagi wanita hamil atau menyusui, terlepas dari keyakinan kita memilih pendapat yang mana, karena masing-masing memiliki dalil, maka memilih keduanya adalah jalan terbaik, jika tidak mampu memilih salah satunya juga diperbolehkan.
Islam itu mudah, tapi jangan dipermudah, namun tidak perlu juga dipersulit untuk menjalani syariatnya. Perbedaan pendapat para ulama tersebut, karena beliau hidup jauh sesudah Nabi Muhammad SAW meninggal, sehingga perbedaan itu wajar saja terjadi, bijaklah dalam menentukan pilihan melaksanakan syariat, sehingga ibu hamil dan atau ibu menyusui dapat mengambil langkah terbaik memenuhi ketentuan kewajiban berpuasa di bulan suci Ramadhan.
Terkait dengan permasalahan apakah wanita hamil dan menyusui, jika ia tidak mampu berpuasa, apakah ia hanya wajib mengqadha’ puasanya atau wajib bayar fidyah saja, atau harus mengqadha’ disertai dengan membayar fidyah, maka terkait hal ini, ada beberapa pendapat dengan beberapa kondisi yang dialami oleh wanita hamil dan menyusui tersebut.
Mari kita simak firman Allah berikut ini :
…Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengqodho’ puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain…(Al-Baqarah 185)
Dalam keterangan firman Allah SWT di atas, maka bagi siapa saja yang tidak mampu berpuasa, karena sakit, karena dalam perjalanan, karena ada udzur dan sejenisnya, maka wajib baginya mengganti puasa pada hari yang lain.
Namun, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa boleh menggantinya dengan fidyah. Fidyah adalah ganti daripada puasa, bagi orang yang tidak mampu berpuasa dengan memberi makan makan fakir miskin, sebanyak hari yang ia tinggalkan. Pendapat ini adalah pendapat dari Imam Maliki, namun, beliau membedakan antara ibu yang hamil dan menyusui, bagi ibu hamil maka bayar dengan puasa saja, sedangkan bagi ibu yang menyusui maka fidyah saja.
Sedangkan pendapat Imam SYafi’I bahwa seorang ibu hamil atau menyusui, maka wajib baginya mengganti puasa dan membayar fidyah sebanyak yang ia tinggalkan. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal menjelaskasn terkait dengan wanita hamil dan menyusui juga tergantung pada kekhawatirannya sehingga meninggalkan puasa Ramadhan, jika wanita hamil atau menyusui, tatkala ia tidak berpuasa dikarenakan mengkhawatirkan kondisi bayinya, ia wajib mengqadha puasa sekaligus membayar fidyah. Akan tetapi bila ia mengkhawatirkan dirinya saja, atau mengkhawatirkan dirinya dan juga bayinya, maka yang harus ia lakukan adalah membayar qadha’ tanpa fidyah. (Fiqhus Sunnah I, hal. 508).
Itulah beberapa pendapat Imam besar kita, dalam menentukan hokum puasa atau hukum mengganti puasa bagi wanita hamil atau menyusui, terlepas dari keyakinan kita memilih pendapat yang mana, karena masing-masing memiliki dalil, maka memilih keduanya adalah jalan terbaik, jika tidak mampu memilih salah satunya juga diperbolehkan.
Islam itu mudah, tapi jangan dipermudah, namun tidak perlu juga dipersulit untuk menjalani syariatnya. Perbedaan pendapat para ulama tersebut, karena beliau hidup jauh sesudah Nabi Muhammad SAW meninggal, sehingga perbedaan itu wajar saja terjadi, bijaklah dalam menentukan pilihan melaksanakan syariat, sehingga ibu hamil dan atau ibu menyusui dapat mengambil langkah terbaik memenuhi ketentuan kewajiban berpuasa di bulan suci Ramadhan.